Beberapa waktu yang lalu saya sempat ada beberapa obrolan menarik di Facebook dengan kawan saya dari Balikpapan dan Surabaya terkait krisis listrik ini. Kawan saya yang dari Balikpapan menulis status yang menyatakan keprihatinannya tentang kondisi padamnya listrik yang sedang melanda Jakarta. Saya kemudian mengomentarinya. “Bukankah mati listrik sudah makanan sehari-hari di Kalimantan sejak dulu?” Komentar saya di dinding Facebook kawan saya tersebut. Kawan saya kemudian membalas: “Mungkin maksud PLN ini untuk azas pemerataan, Pak.” Dan kawan saya yang dari Surabaya kemudian nyeletuk, meledek kawan saya yang dari Balikpapan kalau kota Balikpapan itu bukan Indonesia. “Kok bisa daerah kaya minyak tapi miskin listrik?” ledeknya.
Itulah faktanya! Negara kita, siapapun tidak ada yang bisa memungkiri, negara yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya tapi masih tetap miskin listrik sampai sekarang. Penetrasi pertumbuhan penduduk di negara kita ternyata tidak bisa diimbangi dengan ketersediaan daya listrik yang seharusnya melimpah disediakan oleh PLN, perusahaan pemasok listrik satu-satunya yang memonopoli penyediaan listrik di negara kita.
Saya tidak bermaksud turut menghujat PLN sebagaimana kebanyakan teman saya yang gemas dengan PLN sekarang ini tetapi saya hanya ingin sedikit share tentang beberapa fakta yang mungkin perlu anda tahu tentang PLN. Silahkan disimak fakta-fakta ini.
1. Terbakarnya Trafo
Peristiwa terbakarnya trafo di Gardu Induk (GI) Cawang, Jakarta, akhir September 2009 lalu sebenarnya bukan satu-satunya penyebab krisis listrik di Jakarta. Boleh saya sebut hanya sekedar pemicu meledaknya bom waktu saja. Karena jauh sebelum krisis daya listrik sekarang ini yang melanda Jakarta, sebenarnya defisit pasokan daya listrik sudah dialami PLN jauh beberapa tahun sebelumnya.
2. Pemberlakuan Dayamax Plus
Kalau mau flash back pada bulan Oktober tahun 2005 lalu, PLN waktu itu mengeluarkan kebijakan sepihak tentang Penghematan Pemakaian Tenaga Listrik Pada Waktu Beban Puncak (Peak Load) Pada Pelanggan Bisnis (B3), Industri (I2, I3, I4) dan Kantor Pemerintah Besar (P2) sesuai surat Penjelasan Edaran Direksi PT PLN (Persero) No: 0016.E/DIR/2005. Yang isinya intinya adalah menghimbau kepada semua pelanggan besar agar mengurangi pemakaian listriknya selama waktu beban puncak (WBP) pada pukul 18:00 s/d 22:00. Untuk pelanggan yang bisa menekan dayanya dibawah 50% waktu beban puncak serta bisa menekan pemakaian KWH WBPnya dibawah 50% dari pemakaian WBP rata-rata 6 bulan terakhir akan mendapat Insentif, dan sebaliknya kalau tidak bisa menekan dibawah angka ketentuan tersebut akan mendapatkan Disinsentif (denda).
Usaha ini dilakukan oleh PLN antara lain adalah untuk menghindari jomplangnya peak pemakaian daya listrik pada waktu beban puncak jika dibanding LWBP (Luar Waktu Beban Puncak) dan mengerem laju defisit daya yang dialami PLN waktu itu. Dan sekarang, setelah empat tahun kemudian ternyata faktanya tetap tidak efektif untuk menghambat laju krisis daya yang mendera PLN selain hanya memberatkan sektor usaha atau industri yang mendapatkan tambahan beban biaya listrik sebesar antara 20% s/d 30% akibat pemberlakuan Dayamax Plus ini. Karena terus terang sangat mustahil bisa mengurangi daya atau pemakaian selama beban puncak jika daya kita memang tidak berlebih atau berusaha mengimbanginya dengan pemakaian genset.
3. Jual Rugi
Pada akhir tahun 2002 saya pernah menghadiri sebuah seminar sosialisasi TDL 2003 yang diselenggarakan oleh PLN yang dihadiri beberapa perwakilan perusahaan dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) setempat di kota Malang. Dalam suatu session tanya jawab ada sebuah pertanyaan dari peserta seminar yang menanyakan tentang mengapa sambungan daya pada perumahan RS terpasang dengan daya sangat tinggi sampai 1.300 Watt padahal Rumah RS rata-rata dengan daya 450 Watt saja sudah cukup. Apa jawaban dari PLN waktu itu? Ini penjelasannya, karena pada pelanggan R1 (Rumah Tangga) dengan daya 450 W, PLN sebenarnya masih menjual rugi sementara pada daya diatas 1.300 W tarifnya sudah tarif bisnis yang harga jual listrik per-KWHnya sudah diatas harga pokoknya. Nah, ini penjelasan versi PLN mengapa PLN meski sebagai perusahaan satu-satunya yang memonopoli listrik di negara kita tapi tetap merugi, karena mereka mengklaim tarif TDL-nya masih dibawah harga pokoknya.
4. Korupsi PLN
Saya tidak mau ikut-ikutan menuduh kalau PLN katanya banyak korupsinya sehingga menyebabkan merugi. Karena menuduh tanpa bukti bisa dihukum dan masuk penjara.Tapi, mau diakui atau tidak, setidaknya inilah opini yang berkembang di masyarakat tentang PLN yang katanya terus merugi meski sudah mendapatkan subsidi dari pemerintah. Karena korupsi.
5. Losses PLN Tinggi
Menurut kawan saya di PLN, nilai Losses yang terjadi di PLN dalam pendistribusian listriknya ternyata cukup tinggi sampai mencapai 12%. Losses ini disamping karena rugi-rugi tegangan akibat arus listrik yang hilang selama proses distribusi jaringan, juga karena adanya beberapa pelanggan yang nakal mencuri listrik dan adanya beberapa lampu PJU (Penerangan Jalan Umum) liar tanpa meteran listrik alias mbantol langsung ke jaringan.
6. Wajib pakai Genset
Beberapa bulan yang lalu sebelum krisis listrik melanda Jakarta seperti sekarang ini, beberapa outlet perusahaan tempat saya bekerja di daerah Jateng dan Jogja dapat himbauan dari PLN agar menyalakan gensetnya seminggu sekali saat beban puncak, yang katanya untuk mengimbangi beban daya daerah Jateng yang mengalami defisit parah. Dan karena difisit ini, saya sempat membaca ulasan beberapa media, pasokan listrik Jateng membutuhkan supply daya dari pembangkit listrik dari Jawa Timur.
7. Pemberlakuan Tarif Menyala
Meski sampai sekarang TDL (Tarif Dasar Listrik) yang berlaku masih menggunakan TDL 2003, TDL yang dibuat di era pemerintahan Presiden Megawati, tapi beberapa daerah di Jateng dan Jogja misalnya (saya kurang tahu untuk daerah lain) PLN mengeluarkan ketentuan tarif khusus, yaitu Tarif Menyala pada pelanggan R1 daya 450 W dan 900 W. Pada pola pentarifan di Tarif Menyala ini, PLN mengenakan tarif sedikit lebih mahal dari tarif R1 pada TDL 2003. Baca artikel saya disini kalau ingin melihat komparasinya.
8. Diskriminasi
Kalau saya mengamati di beberapa kota atau daerah, PLN memberlakukan diskriminasi untuk jadwal pemadaman dan respon perbaikan sewaktu terjadi gangguan pada lokasi-lokasi tertentu. Kalau lokasi yang merupakan kawasan kantor pemerintahan seperti kantor Walikota, Gubernur, kantor DPRD dan kantor Militer maka listrik akan jarang mati di kawasan tersebut. Kalau pun terjadi pemadaman biasanya tidak akan pernah lama PLN segera menyalakannya. Contoh saja kalau di Jogja adalah kawasan sekitar jalan Malioboro. Kalau di Solo adalah kawasan jalan Slamet Riyadi. Nah, jika anda ingin aman dari pemadaman, tinggallah di daerah yang dekat dengan kawasan seperti yang saya utarakan tersebut.
9. Dua Sumber Penyulang
Satu lagi cara agar aman dari pemadaman adalah berlangganan listrik ke PLN pakai dua sumber penyulang sekaligus atau dua sumber GI yang berbeda. Dengan berlangganan pakai dua sumber GI maka bila terjadi pemadaman pada salah satu GI maka otomatis bisa switching ke GI yang satunya. Inilah yang banyak dilakukan perusahaan besar seperti Mal-mal dan industri agar aman dari pemadaman listrik, karena prakteknya PLN jarang melakukan pemadaman atau terjadi trouble langsung beberapa GI sekaligus, kecuali peristiwa langka beberapa tahun yang lalu saat terjadinya mati listrik se-Jawa Bali beberapa waktu yang lalu. Dan beberapa perusahaan seperti PT Sampoerna malah melakukan penarikan jaringan kabel tegangan menengah tersendiri langsung ke GI PLN agar aman dari pemadaman karena terpisah dengan jalur listrik umum sehingga bisa meminimalisir tingkat gangguan padamnya listrik.
10. Jualan tapi tidak menjual
Pada posting saya sebelumnya, baca disini, saya menyebut PLN adalah salah satu perusahaan yang tidak menerapkan promosi marketing bahkan malah membuat persuasi yang bertentangan dengan teori marketing itu sendiri. PLN, memang kenyataannya perusahaan yang jual listrik tapi meski jualan PLN tidak berlaku sebagaimana perusahaan yang memang jualan dengan menggencarkan promosi agar pelanggannya melakukan pembelian sebanyak-banyaknya. PLN malah sebaliknya, menghimbau pelanggannya agar berhemat. Ini tentu bertentangan dengan teori marketing manapun yang berusaha menjual produknya sebanyak-banyaknya. Nah, ini tentu sisi baik dari PLN diantara sisi kekurangannya yang tentu harus kita akui juga.