Misteri Saktinya Pedang Damaskus

Tulisan ini sebetulnya mirip dengan artikel yang pernah saya posting beberapa bulan lalu namun dalam artikel kali ini ulasannya sedikit lebih lengkap

Oktober 1192.  Richard yang Berhati Singa, raja Inggris yang memimpin tentara Kristen dalam  Perang Salib III, bertemu dengan musuh bebuyutannya, pemimpin muslim Salahuddin  al-Ayyubi. Kedua pemimpin ini saling menghormati. Kedua pemimpin yang kemudian  menjadi legenda itu, demikian Sir Walter Scott mendramatisasi dalam novel The  Talisman, memamerkan senjata masing-masing.
Richard mengeluarkan  pedang lebar mengkilap buatan empu terbaik daratan Britania. Salahuddin  menghunus pedang kesayangannya. Pedang lengkung buatan empu di Damaskus yang  tidak mengkilap. “Alih-alih, warnanya biru pudar, dicercahi 10 juta garis,”  tulis Sir Scott. Mungkin pedang itu mirip garis-garis pamor keris buatan  empu terbaik di Jawa.

Novel Sir Scott yang terbit dua abad silam itu  memastikan keampuhan pedang Damaskus, salah satunya dipegang Salahuddin, menjadi abadi. Pedang itu sangat tajam. Saputangan sutra yang paling halus pun bisa terbelah dua jika jatuh melayang di atas mata pedang. Selain itu, senjata yang  dikenal sebagai pedang Damaskus itu sanggup membelah pedang musuh atau batu  cadas paling keras tanpa berkurang ketajamannya.

Sayang, teknik membuat  pedang Damaskus yang muncul pada abad ke-8 sudah punah. Tak ada satu empu pun yang bisa membuatnya dalam dua abad terakhir. Para ahli metalurgi bertanya-tanya  bagaimana para empu di Damaskus bisa membuat pedang sekuat dan setajam itu. Soal struktur logam di dalamnya juga menjadi pertanyaan besar.


Baru pada zaman  sekarang jawabannya ditemukan di Jerman. Para empu di Damaskus itu, secara tidak sadar, menerapkan teknologi nano saat membuat pedang untuk Salahuddin. Untuk  mengingatkan, nanotube itu bahan yang 100 kali lebih kuat daripada baja. Tidak aneh jika pedang Damaskus begitu kuat

Peter Paufler, crystallographer di Universitas Teknik Dresden, Jerman,menemukan kawat nano dan nanotube saat meneliti pedang Damaskus yang berusia empat abad dengan mikroskop elektron. “Ini temuan nanotube pertama di baja,” kata  Paufler.

Serat nanotube itu menjelujur di seluruh badan pedang yang terbuat dari baja. Akibatnya, baja itu seperti mendapat tulang tambahan yang 100 kali lebih kuat. “Ini prinsip umum alam,” kata Paufler. “Zat yang lebih lunak bisa diperkuat dengan menambah kawat yang kuat.”

Ada kritik bahwa mikroskop elektron itu terkontaminasi nanotube dari tempat lain, seperti yang dikutip Alex Zettl, ahli fisika dari University of California, Berkeley. Tapi Paufler,setelah mengakui kemungkinan itu, mengatakan ia sudah menguji dengan berbagai peralatan berbeda. Hasilnya tetap sama: ada partikel  nano.

Para empu di Damaskus membuat pedang dengan bahan baku baja lantakan yang diimpor dari India. Baja mentah ini, di India disebut ukku dan di Barat dipanggil wootz, kualitasnya sangat bagus dan karbonnya mencapai 1,5 persen atau sekitar 15 kali lipat dibanding baja tempat lain.

Karbon ini biasanya dianggap kunci membuat pedang yang bagus. Tapi campurannya harus pas, terlalu banyak membuat baja menjadi getas, terlalu sedikit membuat baja tidak bisa tajam. Jika prosesnya tidak sempurna, bisa muncul cementite, fase besi yang sangat rapuh meski keras.


Paufler menduga nanotube itu muncul saat baja lantakan India dibakar. Karbon dari kayu dan dedaunan untuk membakar membentuk menjadi nanotube, terutama dari batang Cassia auriculata dan daun Calotropis gigantea. Selain itu, pedang Damaskus memiliki unsur vanadium, kromium, mangan, timah, nikel, dan beberapa unsur lain yang terlacak sampai ke tambang-tambang di India. Lewat proses bakar dan tempa, nanotube itu belakangan terisi cementite, zat dari besi yang sangat kuat.

Teknik membuat pedang Damaskus mirip dengan keris di Jawa, katana di Jepang, atau pedang Viking di Eropa Utara. Berbagai jenis lempeng besi dan logam disatukan menjadi batangan. Setelah  dibakar dan ditempa,logam baru itu akan menyatu. Proses ini diulangi setelah menekuk logam hasil tempaan dan diulangi terus-menerus.

Pukulan palu berulang-ulang membuat serat-serat kawat nano itu mengarah ke luar pedang. Mungkin juga membuat partikel cementite yang lebih besar tersusun  berlapis-lapis dengan baja yang lebih lunak tapi lentur.

Saat pedang sudah berbentuk dan tinggal mempertajam, Paufler menduga para empu Damaskus itu merendamnya dengan air keras. Air keras itu tidak hanya menciptakan alur logam di badan pedang, tapi juga mempertajam.

Nah, menurut dugaan Paufler, air keras itu memang melumerkan logam. Tapi nanotube dari karbon dan cementite di dalamnya tetap bertahan sehingga membuat mereka seperti mata gergaji yang sangat lembut. Pedang pun menjadi sangat tajam dengan kekuatan 100 kali baja, persis seperti yang dipegang Salahuddin al-Ayyubi.


[tempointeraktif.com]